Sabtu, 25 Juni 2011

SaHaBaT ? teman nongkrong.... teman cuRhat ?


hoooi, ini saLah 2 oRaNg teMan yanG ga ngERti bisa kenal darimana kok tiba 2 aja aKrab...

kalo yang 1 ( cowo ) namanya Roffie... dia sebenernya teman kuliah senior alias kakak kelas...... tapi mainnya dari dulu pasti ama uwee..... ngaajakin ngemall ama uwee.. ngajakin nyalon ama uwee.... ampe suatu ketika dia lulus dan keterima di jakarta..... sumpe maati dia langsung bilang " Elo harus nyusul ke Jakarta... dan kerja di jakarta " heheheheheeee......
hasiLnya ?? klopppp manteb.... (pake h --> kata ci'erni )

Kalo nyang 1 lagi .. Desi namanya....... dia ini tipikel...malu2 tapi gila juga.. kenalnya pertengahan 2007 karena kita sama 2 terperangkap di suatu perusahaan yang sama..... dan ternyata dia itu emang asiiik bangeeD.....diajak jalan ayuuk, diajak maen ayuuuk diajak ajojing mauk...... diajak serius juga mauk........>>
Mereka be2 ini hampir selalu ada disaat aku butuh rangkulan teman2 baik.....

mudah2an persahabatan ini awet ampe selamanya. ampe kita memiliki keluarga masing - masing dan bisa mamerin putra or putrinya masing - masing,.....

LoVe u guyS.....

Lophe U puLL -lah......semua.......

Selasa, 21 Juni 2011

Mencermati Paradoks Hidup Modern

Oleh Kasdin Sihotang

Manusia modern hidup dalam keserbaadaan. Dengan teknologi yang canggih dan ilmu pengetahuan yang memadai ia dapat memenuhi apa saja yang diinginkannya secara cepat dan instan. Ia tidak perlu repot-repot mengeluarkan tenaga besar, bahkan tidak membutuhkan perjuangan untuk mewujudkan kemauannya. Kecanggihan teknologi dan ketersediaan ilmu pengetahuan membuat segala hal menjadi mungkin bagi dirinya.

Kemungkinan besar untuk merealisasikan segala hal yang diinginkan itu berimplikasi bagi pandangan terhadap dunia, yakni dunia dilihat sebagai the realized eschatology, artinya masa depan (baca: surga) yang telah menjadi sebuah kenyataan. Atas alasan itulah manusia modern mendewa-dewakan kenikmatan, mencari kesenangan sebanyak-banyaknya, bahkan menempatkannya sebagai tujuan hidup. Dengan kata lain, kondisi ketercukupan justru membuat manusia modern hidup dalam suasana hedonistik dan pragmatis.

Pertanyaan mendasar

Namun pertanyaan mendasar yang muncul, apakah dengan kondisi yang ketercukupan itu, manusia modern semakin mampu menghayati hidup yang bermakna? Jawabnya ternyata “tidak”. Manusia justru mengalami kehampaan hidup di tengah keberlimpahannya. Artinya, manusia modern justru kehilangan jati dirinya di tengah situasi yang serbaada itu. Jadi, manusia modern sarat dengan paradoks.

Erik Fromm, seorang penganut psikologi humanistik secara tepat menggambarkan bagaimana paradoks hidup manusia modern itu serta konsekuensi logisnya bagi penghayatan kemanusiaan dalam tiga kenyataan berikut.

Pertama, kenyataan bahwa manusia modern memproyeksikan dirinya pada sesuatu yang berada di luar dirinya, padahal kemampuan itu ada dalam dirinya. Artinya, manusia modern tidak lagi mampu mengakui kekuatannya sebagai dasar untuk menjalankan hidup, melainkan memindahkannya, dan menggantungkannya pada sesuatu di luar dirinya.

Di sini ia mengingkari diri sebagai subjek yang berharga. Sebaliknya ia justru mengobjekkan dirinya. Yang menjadi subjek adalah hal-hal yang diproyeksikan dalam instrumen berbentuk teknologi dan sarana-sarana. Jadi di sini terjadi instrumentalisasi kepribadian. Hidup hanya dihayati dalam fungsi tertentu. Karena itu pula kepribadian manusia modern bersifat fungsional belaka, dan bukan bersifat eksistensial sebagaimana ditegaskan oleh para filsuf eksistensialis seperti Martin Heidegger dan Martin Buber.

Kedua, kenyataan bahwa manusia modern lebih menghayati modus relasi kebendaan, padahal ia adalah manusia. Senada dengan dua filsuf eskistensialis pendahulunya, Fromm mengamati bahwa relasi hidup orang-orang modern lebih mengembangkan sifat instrumentalistik dari padai relasi humanistik. Karakter relasi instrumentalistik itu ditandai dengan monolog, pasif, dan fungsional serta alienatif.

Dikatakan monolog, karena di dalamnya tidak ada hubungan timbal balik, melainkan hanya satu arah. Dalam relasi ini, hanya yang berkepentingan yang terlibat. Pasif karena memang subjek tidak lagi berkreasi, mencari terobosan-terobosan baru dalam perwujudan dirinya. Setiap individu justru tidak perlu berusaha atau repot-repat untuk mewujudkan keinginannya. Cukup ia memencet tombol, segala keinginan akan terpenuhi.

Sementara disebutkan fungsional, karena hubungan itu terjadi hanya karena kegunaan atau kebutuhan/kepentingan. Jadi, hubungan itu selalu terkait dengan tindakan konsumtif. Implikasinya, manusia modern telah kehilangan potensi rasionalitasnya dan hakikat koeksistensialnya. Ia tidak mampu lagi memikirkan perbuatannya dan memandang dirinya ada bersama dengan manusia lain. Ia hanya bisa menempatkan orang lain bagi dirinya secara instrumentalistik. Dalam kondisi seperti ini sesungguhnya manusia modern menurut Fromm mengalami keterasingan baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain.

Ketiga, kenyataan bahwa manusia modern lebih didominasi oleh naluri kepemilikan, yang diistilahkan oleh Fromm dengan to have, padahal kekayaan dalam dirinya sesungguhnya ( to be) melebihi materi. Ketersediaan segala hal justru memberi ruang yang begitu luas bahkan mendorong manusia modern untuk memenuhi keinginan-keinginan ingstingtualnya. Dalam pemenuhan itu pula ia membenarkan segala cara, termasuk menghancurkan hidup sesamanya. Dasar pemikiran kuat di belakang ini adalah ideologi utilitarianisme, yakni semakin banyak kemauannya terpenuhi, semakin tinggilah status sosialnya.

Tetapi dalam tiga kenyataan itu sesungguhnya manusia modern tidak lagi mampu menghayati hidup yang bermakna. Ia justru hidup dalam kehampaan makna. Mengapa? Karena dalam kondisi keserbaadaan, manusia modern kehilangan hakikat dirinya. Karena ia tidak lagi mampu mengakui dirinya sebagai subjek yang berharga, ia berada dalam kekosongan di tengah kegelimangan materi. Hidupnya hanya berada dalam proyeksi. Dan proyeksi terus menerus ini mengikis nilai diri yang sebenarnya. Ini jelas bukanlah makna hidup yang sebenarnya.

Akar Makna

Lalu kalau begitu, di manakah akar makna hidup yang sebenarnya itu? Jawabnya harus dicari pada dimensi internal manusia, bukan pada hal-hal di luar. Artinya, kualitas hidup manusia ada pada pengakuan eksistensinya secara komprehensif. Dengan penegasan ini lalu jelaslah bahwa pencarian makna hidup harus diarahkan pada penggalian potensi serta nilai-nilai yang melekat dalam diri manusia itu sendiri.

Itu berarti, agar mampu menghayati hidup secara bermakna, upaya pertama yang harus dilakukan oleh setiap individu adalah berani mengakui dirinya sebagai subjek yang otonom dan bebas. Sebagai subjek yang otonom, manusia harus sadar bahwa ia mempunyai kemampuan menentukan kualitas hidupnya. Sebagai subjek yang bebas, ia memiliki kemampuan untuk menilai dan memilih kualitas-kualitas perbuatannya. Dengan ini mau ditegaskan bahwa pertimbangan baik buruknya perbuatan menjadi bagian fundamental dalam pemaknaan hidup. Jadi, nilai-nilai moral justru tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia, karena nilai-nilai inilah menjadikan hidup manusia mempunyai nilai.

Tentu untuk sampai penghayatan demikian diperlukan kesadaran yang tinggi. Karena itu benar ungkapan Aristoteles yang menyatakan bahwa hidup yang bermutu adalah hidup yang disadari. Artinya, dengan kesadaran setiap orang bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk dalam tindakannya. Hidup dalam kesadaran juga membuat orang dapat menjaga jarak dengan segala milik serta hal-hal berbau instrumental, sebaliknya mendekatkan diri dengan nilai-nilai intrinsik, seperti membangun relasi humanistik dengan sesamanya.

Di tengah keglamoran modernitas, menghayati hidup bermakna secara eksistensial demikian memang menjadi sebuah tantangan besar. Dibutuhkan upaya terus menerus untuk menginternalisasikan apa yang digagaskan oleh Aristoteles di atas. Kalau tidak, kedangkalan hiduplah yang dijalani oleh manusia modern, yang muaranya adalah kecemasan dan keputusasaan yang berkelanjutan, bahkan berujung pada kematian hidup. Semua benih nekrofilia hidup ini sesungguhnya bisa diatasi, karena potensi untuk itu melekat dalam hakikat manusia sebagai makhluk rasional, sosial dan religius.

Penulis adalah dosen Filsafat di FE dan FPsi serta di S2 Prodi MM, serta staf Inti PPE Unika Atma Jaya, Jakarta.

Senin, 20 Juni 2011

akhirnya.. poto juga..


dan akhirnya... kita sempat juGa foTo berDua....

ehm.. ada yang biSa mengartikan ini semua ?